Rabu, 23 November 2011

Fatimah Az Zahra

Dunia masih mengenangnya. Air mata masih ada yang mengalir ketika mengingat kebesarannya. Ada rasa malu kalau membandingkan dengan keadaan kita sekarang. Ada rasa haru kalau melihat perjuangan; bagaimana ia dengan penuh kasih-sayang mengusap darah suaminya seusai perang dan merawatnya dengan penuh perhatian; bagaimana ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan bagaimana ia menginap di rumah Rasulullah sementara ’Ali menggantikan tempat tidur Nabi saat orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu Rasulullah meninggalkan Makkah dan bersembunyi di Gua Tsaur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.

Fathimah sangat besar perjuangannya. Dia adalah putri dari seorang yang suci. Dia sendiri suci. Dari rahimnya yang suci, kita pernah mendengar nama Al-Hasan dan Al-Husain yang ikut bersama kakeknya ketika akan melakukan mubahalah (perang do’a) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga melahirkan Zainab yang kelak meninggalkan Mesir. Dari keturunan Zainab inilah kelak Imam Syafi’i mendapat tempat dan perlindungan. Juga membuka pesantrennya.

Keteladanan beliau mencakup kedekatan kepada Allah, kuatnya dalam menegakkan shalat malam, khusyuknya dalam berzikir, kesetiaannya yang luar biasa kepada suami sehingga bersedia membersihkan darah suami dengan penuh kasih sayang, serta kuatnya kecintaan dan perhatian kepada anak-anaknya.

Imam Nawawi Al-Bantani (Al-Jawi) pernah menuliskan keagungan Fathimah Az-Zahra ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami istri. Berikut saya kutib dari Uqudul Lujain karya Imam Nawai Al-Bantani1.

Suatu hari Rasulullah Saw. menjenguk Az-Zahra. Ketika ia sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.

”Kenapa menangis, Fathimah?” tanya Rasulullah,”Mudah-mudahan Allah tidak membuat matamu menangis lagi.”

”Ayah,”Fathimah menjawab, ”aku menangis hanya karena batu penggiling ini, dan lagi aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”

Rasulullah Saw. kemudian mengambil tempat duduk disisinya, kata Abu Hurairah. Fathimah berkata,”Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada ’Ali supaya membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah.”

Setelah mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknyadan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam biji-bijian gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca bismillahir rahmanir rahiim maka berputarlah alat penggiling itu atas izin Allah. Beliau terus memasukkan biji-bijian itu sementara alat penggiling terus berputar sendiri, sambil memuji Allah dengan bahasa yang tak dipahami manusia. Ini terus berjalan sampai biji-bijian itu habis.

Rasulullah Saw. berkata kepada alat penggiling itu.”Berhentilah atas izin Allah”. Seketika alat penggiling pun berhenti. Beliau berkata sambil mengutip ayat Al-Qur’an, ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya ada-lah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintah-Nya, dan mereka selalu mengerjakan segala yang diperintah:. (QS.At-Tahrim: 6)

Merasa takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu bisa berbicara atas izin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih. Selanjutnya batu itu berkata, ”Ya Rasulullah, demi Dzat Yang Mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau perintahkan aku menggiling biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur dan Barat, pastilah akan kugiling semuanya.”

Dan aku mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini, bahwa Nabi Saw. bersabda,”Hai Batu, bergembiralah kamu. Sesungguhnya kamu termasuk batu yang kelak dipergunakan untuk membangun gedung Fathimah di surga.”

Seketika itu, batu penggling bergembira dan berhenti.

Nabi Saw bersabda kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra,”Kalau Allah berkehendak, hai Fathimah, pasti batu penggiling itu berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan mengahpus keburukan-keburukanmu serta mengangkat derajatmu.

Hai Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka Allah mencatat baginyamemperoleh kebajikan dari setiap butir yang tergiling, dan menghapus keburukannya serta meninggikan derajatnya.

Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah memisahkan antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.

Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisirkan rambut mereka dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatat untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu orang yang sedang kelaparan, dan seperti pahala orang yang memberi pakaian seribu orang yang telanjang.

Hai Fathimah, setiap istri yang yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk minum air dari telaga Kautsar pada hari Kiamat.

Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan mendo’akan dirimu”.

”Bukankah engkau mengerti, hai Fathimah, bahwa ridha suami itu menjadi bagian dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.”

Hai Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat memohon ampun untuknya, dan setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu kebajikan dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit (menjelang melahirkan) maka Allah mencatat untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apabila telah melahirkan, dirinya terbebas dari segala dosa seperti keadaanya stelah dilahirkan ibunya.”

”Hai Fathimah, setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, maka dirinya terbebas dari dosa-dosanya seperti pada hari dirinya dilahirkan ibunya. Ia tidak keluar dari dunia (yakni mati) kecuali tanpa membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga. Allah memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga kiamat.”

”setiap istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai hati yang baik, ikhlas dan niat yang benar, maka Allah mengampuni dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya diberi pakaian berwarna hijau, dan dicatat untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhnya dengan seribu kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus pahala orang yang berhaji dan berumrah.”

”Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.”

Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari langit. ’Hai Wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang’.”

Hai Fathimah, setiap Istri yang meminyaki rambut suaminya demikian pula jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka Allah kelak memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih yang tersegel) dan dari sungai yang ada di surga. Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah melewati sirath (titian).”2

Lima anak yang dikaruniakan Allah Swt. Kepada Az-Zahra, yaitu Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhsin-yang meninggal keguguran ketika ia masih berupa janin dalam rahim sucinya.

Fathimah Az-Zahra mendidik sendiri dua putra dan dua putri yang diamanahkan Allah Swt. Kepadanya. Ia susui anak-anaknya dengan tangan sendiri.

Ia memilih untuk mendekap anaknya sendiri, meskipun kepayahan bekerja dan ada orang yang mau menggantikan, karena ibulah yang lebih bisa menyayangi anaknya, bukan orang lain. Termasuk baby-sitter. Padahal sekarang ibu-ibu muda kadang memilih untuk bisa makan dengan tenang dan enak, sedang menggendong anak biar dikerjakan baby sitter.

Mari kita dengarkan cerita dari Bilal, muadzin Rasulullah:

”Saya melewati Fathimah yang sedang menggiling,”kata Bilal, ”sementara anaknya menangis.”

”Saya berkata kepadanya,”kata Bilal melanjutkan, ”Jika engkau mau, biar aku yang memegang gilingan dan engkau memegang anak itu. Atau, aku yang memegang anak itu dan engkau memegang gilingan.”

Ia berkata, ”Aku lebih dapat mengasihi anakku dibanding engkau.”

Sebagaimana istrinya, Sayyidina Ali juga menolak orang membawakan makanan yang akan diberikan kepada anaknya (masya Allah, betapa hati-hatinya beliau menjaga kebarakahan). Shalih, seorang pedagang pakaian pernah mendapat cerita dari neneknya, ”Saya melihat Ali radhiyallahu ’anhu membeli kurma dengan harga satu dirham, lalu beliau membawanya dibungkus selimut. Saya berkata kepadanya atau seseorang berkata kepadanya, wahai Amirul Mukminan. ’Beliau berkata, ’Jangan! Kepala keluarga lebih berhak membawanya;.”

Kisah ini disampaikan oleh Imam Bukhari. Jabatan Sayyidina Ali saat itu khalifah, Amirul Mukminin. Pada masa sekarang, jabatan itu lebih tinggi daripada presiden atau raja sebuah negara, sebab kekuasaanya meliputi negeri-negeri lain. Tetapi untuk urusan membawakan makanan anak, Amirul Mukminin tidak mau mengotori dengan menyerahkan kepada orang lain. Betapa jauhnya kita dengan akhlak menantu Rasulullah ini.

Fathimah mendidik anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan luar biasa. Ia menanamkan ke dada anak tauhid dan kesediaan berdarah-darah.

Kisah Fathimah Az-Zahra akan lebih panjang lagi diteruskan. Dan makalah ini tidak cukup untuk untuk menuliskan. Karena itu kita sudahi dulu.

Sebagai penutup, ada kisah singkat. Hasan dan Husain, kata Abu Hurairah, bergulat. Lalu Rasulullah Saw. berkata, ”Ayo Hasan!”

Maka Fathimah mengatakan, ”Wahai Rasulullah, engkau mengatakan ’Ayo Hasan’, padahal dia lebih besar.”

Maka Rasulullah menjawab, ”Aku mengatakan ’Ayo Hasan’ dan malaikat Jibril mengatakan ’Ayo Husain.”

Sambil bermain-main dengan Hasan, Fathimah mengajarkan kepada anaknya dengan mengatakan:

Jadilah seperti ayahmu, wahai Hasan

Lepaskan tali kendali yang membelenggu kebenaran

Sembahlah Tuhan yang memiliki anugerah

Janganlah kau bantu orang memiliki dendam

Saya tidak tahu apakah kita bisa meneladani Fathimatuz Zahra, sedang tingkatan kita masih seperti ini. Jauh sekali.

Tetapi saya harap berharap pembicaraan ini ada manfaatnya. Setidaknya mengajari kita rasa malu, untuk tahu diri. Sebandingkah kita dengan pengorbanan Az-Zahra dan keluarganya?

Satu hal, tulisan ini adalah do’a. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang penuh barakah dan Allah mengaruniakan kepada mereka barakah, sampai yaumil-qiyamah. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita keluarga yang penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah kepada kita.

Allahu A’lam bishawab

Dikutip dari buku ”Disebabkan oleh Cinta, Kupercayakan Rumahku Padamu” karangan Ustad Mohammad Fauzil Adhim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda