Jumat, 25 November 2011

Tragedi Karbala di Bulan Hijriah

Kisah kepahlawanan dan pengorbanan besar keluarga suci Nabi pimpinan Imam Husein AS di Karbala aalah kisah abadi yang tidak akan pernah terlupakan. Di Iran, kisah suci yang terjadi tahun 61 hijriyah ini telah menjadi bagian dari kebudayaan rakyat. Taziyah, adalah sebuah drama rakyat Iran yang biasa dipentaskan untuk mengenang peristiwa terbunuhnya Imam Husein bersama 72 keluarga dan sahabatnya di padang Karbala pada tanggal 10 Muharram tahun 61 hijriyah.
Para lakon taziyah biasa mementaskan drama ini di tempat-tempat terbuka seperti lapangan dengan cara-cara yang amat sederhana dan tradisional. Dalam drama ini, para pemain secara optimal mementaskan kemahiran mereka untuk menghidupkan peristiwa Karbala di hadapan para penontonnya.
Sejak awal bulan Muharram setiap tahunnya, taziyah menjadi acara pertunjukan yang diminati oleh warga Iran. Biasanya, pengunjung acara ini akan semakin membludak di hari tanggal 9 dan 10 Muharram atau yang lebih dikenal dengan nama Tasu’a dan Asyura. Acara Taziyah mulai biasa dipentaskan sejak pagi dan akan berakhir menjelang terbenamnya matahari.
Di Iran, taziyah telah ada dan merakyat sejak dahulu. Dikisahkan bahwa Muizzuddaulah Ahmad bin Buyeh yang berkuasa abad ke-4 hijriyah, pada tahun 342 hijriyah atau sekitar tahun 953 masehi mengeluarkan perintah yang isinya meliburkan kegiatan pasar-pasar perniagaan dan memerintahkan rakyat untuk memakai pakaian hitam dan melakukan kegiatan berkabung. Meski demikian, tidak berarti bahwa taziyah seperti yang ada di Iran saat ini telah ada pada zaman itu. Sebab, acara berkabung mengenang kesyahidan Imam Husein as di Karbala dilakukan dengan berbagai cara dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah, bukan karea adanya perintah dari penguasa dan ada seketika.
Dalam tujuh abad terakhir, drama taziyah berkembang hingga dalam bentuknya yang sekarang. Perkembangan taziyah ini bisa dipelajari dari dokumen-dokumen sejarah atau kisah-kisah petualangan yang ditulis oleh para pengelana dunia. Awalnya, pada zaman dahulu, acara taziyah berupa sekelompok orang yang membunyikan alat-alat musik sederhana dan berjalan secara perlahan di depan masyarakat yang menonton sambil melantunkan syair-syiar dan cerita Karbala untuk menunjukkan rasa berkabung. Mereka biasa membawa serta perlengkapan yang mirip dengan alat-alat perang.
Pada perkembangan berikutnya, porsi syair dan cerita yang dibawakan dalam drama taziyah dikurangi sementara simbol-simbol dan perlengkapan perang yang dipakai semakin ditonjolkan. Selanjutnya, taziyah ini melibatkan para pemain untuk mementaskan kisah Karbala. Di tahun-tahun terakhir kekuasan Dinasti Safawi di Iran, sekitar tahun 1600-an, acara taziyah telah menjadi sepert bentuknya sekarang.
Untuk menghormati kemuliaan dan kesucian wanita-wanita keluarga Nabi SAW dalam peristiwa Karbala, drama taziyah ini hanya melibatkan para pemain pria. Artinya tidak ada wanita yang bermain dalam taziyah. Taziyah juga melibatkan para pemain cilik yang biasanya memiliki daya hafal yang tinggi. Mereka mampu menghafal bait-bait syair dalam jumlah yang banyak.
Taziyah lebih banyak menggunakan bahasa syair ketimbang prosa yang biasa. Meski demikian, syair-syair yang dipakai umumnya lebih merakyat dan dapat difahami dengan mudah oleh para penontonnya. Kisah yang diangkat umumnya bersumber dari buku-buku sejarah yang terkadang juga tercampuri oleh mitos-mitos.
Taziyah biasanya dimulai dengan tampilnya seorang yang membawakan kisah dengan suara lantang dan indah. Ketika pemain memasuki arena pentas, ia akan melanjutkan kisah itu dengan bahasa syairnya. Pembawa cerita biasanya akan menceritakan kisah Karbala secara lengkap, sehingga para penonton akan mengetahui kisah ini secara sempurna. Bagi umat Islam, menonton drama seperti ini akan menghidupkan kembali kisah perjuangan Imam Husein di Karbala dan dapat membawa jiwa ini ke dalam penyucian.
Taziyah membawa satu pesan yaitu perang antara hak dan batil, atau bentrokan antara kebaikan dan keburukan. Para pemain drama taziyah selalu mengingatkan para penontonnya pada falsafah kebangkitan Imam Husein di Karbala yaitu untuk menegakkan kebaikan dan memerangi keburukan dan kezaliman.
Para pemain taziyah terbagi pada dua kelompok, kelompok orang-orang saleh dan kelompok orang-orang fasik. Kelompok saleh mengenakan pakaian dan atribut berwarna putih dan hijau serta sepatu kuning, sementara kelompok fasik memakai pakaian dan atribut berwarna merah atau coklat. Perbedaan warna ini memisahkan kedua kelompok tersebut, sehingga para penonton dapat membedakannya. Pakaian yang dikenakan para pemain taziyah mirip dengan pakaian yang dikenakan oleh rakyat Iran pada masa kekuasaan dinasti Safawi.
Taziyah tidak bisa dipisahkan musik. Musik inilah yang mengiringi pembawa kisah mengawali acara drama. Tak jarang, untuk sebuah adegan tertentu, suara musik memainkan peran yang sangat berarti. Banyak peneliti yang meyakini bahwa taziyah merupakan salah satu acara kesenian rakyat yang melestarikan seni musik tradisional Iran. Dalam acara taziyah, musik dimainkan secara terpadu dan terorganisir.
Dalam taziyah, tim yang memainkan musik terdiri dari tujuh atau delapan orang dengan menggunakan terompet, drum dan semisalnya yang mengingatkan akan suasana medan peperangan di masa lalu. Musik yang dimainkan juga mengekspresikan perasaan kesedihan yang mendalam saat mengisahkan gugurnya kembang-kembang suci keluarga Nabi.
Bisa dikata bahwa taziyah merupakan salah satu acara kesenian rakyat Iran yang merupakan gabungan dari beberapa gaya seni. Dulu, taziyah diwarnai oleh lukisan-lukisan pada kain-kain yang dipajang di pentas. Lukisan itu umumnya mengisahkan peristiwa Asyura di padang Karbala. Dengan menggunakan lukisan itu, pembawa cerita akan lebih mudah membawa para penontonnya kepada peristiwa Karbala.
Setelah sempat mengalami pasang surut, drama taziyah kembali marak di Iran, khususnya setelah kemenangan revolusi Islam. Baik pemerintah maupun masyarakat memberikan dukungan moril dan materil kepada kesenian ini. Pada bulan Muharram di Iran, kelompok-kelompok drama taziyah mementaskan kisah Karbala melalui bahasa mereka dan menghidupkan kembali peristiwa yang terjadi pada bulan Muharram tahun 61 hijriyah itu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda